Sabtu, 20 Desember 2008

LINGUISTICS FOR DUMMIES

1. Pendahuluan

Manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Salah satu tolok ukur yang membedakan kesempurnaan manusia dengan makhluk ciptaan tuhan yang lain adalah diberinya akal yang menyertai manusia. Salah satu kodrat manusia yang berkorelasi dengan akal yang dimiliki manusia adalah keinginan untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan yang lain. Salah satu media yang digunakan manusia untuk berkomunikasi adalah melalui bahasa. Hal inilah yang pada akhirnya membedakan manusia dengan hewan, meskipun hewan juga mampu berkomunikasi tetapi komunikasi yang diproduksi oleh hewan sangatlah terbatas, karena bentuk komunikasi yang dilakukan hewan terjadi secara instingtif atau merupakan perwujudan dari naluri kebinatangan mereka saja dan oleh karena itu peran akal yang dimiliki oleh manusia sangatlah penting dalam berkembangnya bentuk-bentuk komunikasi yang diperlukan manusia. Bahasa yang diproduksi manusia untuk berkomunikasi dibagi menjadi dua yaitu: bahasa lisan (spoken language) dan bahasa tulis (written language).
Dalam kesehariannya manusia banyak menggunakan bahasa lisan untuk berkomunikasi terhadap sesama. Bahasa lisan yang diproduksi oleh manusia ini merupakan salah satu obyek kajian yang dipelajari dalam sebuah ilmu yang disebut linguistik. Martinet (1987:19) mengemukakan bahwa linguistik adalah telaah mengenai bahasa manusia. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Bahasa sendiri menurut Wardhaugh (1992:1) adalah “when two or more people communicate with each other in speech we can call the system of communication that they employ a code” yang dapat ditafsirkan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem dalam sebuah hubungan komunikasi antar manusia. Dari sudut pandang lain dapat kita ketahui bahwa bahasa adalah seperangkat aturan (a set of rules) yang memang sudah ada dalam otak manusia (Chomsky 1965). Ketika seperangkat aturan yang dibawa sejak lahir tersebut dihadapkan pada data atau bahasa yang didengar di sekitarnya maka ‘perangkat’ yang ada di otak akan menyesuaikan atau ‘dicetak’ sesuai dengan bahasa tersebut.
Bahasa yang dipelajari dalam linguistik pada hakikatnya merupakan sebuah kesinambungan antar sistem. Hal ini yang menjadikan bahasa bersifat sistematis dan sistemis (Chaer 1994). Lebih lanjut dari apa yang dikemukakan Chaer (1994) adalah; kita dapat menjabarkan bahwa bahasa bersifat sistematis yaitu berarti bahasa terbentuk dari sebuah pola-pola yang tersusun secara teratur sehingga menimbulkan sebuah keberterimaan dari sebuah bahasa yang berujung pada sebuah komprehensi. Sedangkan bahasa bersifat sistimis yaitu bahasa bukanlah merupakan sebuah sistim yang tidak mampu berdiri sendiri dan terdapat subsistem (fonologi, morfologi, sintaksis, (semantik, pragmatik, analisis wacana) di dalamnya.

2. Fonologi

Menurut Ensiklopedi Bahasa-bahasa Dunia dan Peristilahan Dalam Bahasa (2006), Fonologi adalah ilmu yang mempelajari bunyi bahasa menurut fungsinya. Seperti yang dapat kita lihat pada hirarki subsistem bahasa di atas yang menjadi obyek kajiannya adalah fon (bunyi) dan fonem (satuan bunyi terkecil yang dapat membedakan arti). Dilihat dari obyek kajian yang dipelajarinya fonologi dapat dibedakan menjadi fonetik dan fonemik, dimana pada tingkatan bunyi atau fon (yang tidak membedakan arti) secara khusus dipelajari dalam fonetik. Sedangkan dalam fonemik, bunyi-bunyi yang dapat membedakan arti (fonem) secara khusus dipelajari di sini.
Dalam pelaksanaannya manusia memproduksi bunyi-bunyi bahasa yang secara khusus diproduksi oleh organ ucap. Terjadinya bunyi bahasa dimulai dari munculnya perintah untuk berbahasa yang berasal dari otak kemudian diteruskan oleh neuron-neuron yang terkait untuk kemudian diteruskan ke organ-organ ucap yang bersangkutan. Proses awal dari produksi bunyi bahasa ini pada umumnya dimulai dengan proses pemompaan udara keluar paru-paru melalui pangkal tenggorok ke pangkal tenggorok yang di dalamnya terdapat pita suara (Chaer 1994). Dan pada akhirnya terdapat dua macam bunyi yang diproduksi oleh organ-organ ucap itu tadi, kedua macam bunyi yang dihasilkan adalah vokal dan konsonan. Konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan menghambat aliran udara pada salah satu tempat di saluran suara diatas di atas glottis (http://www.wikipedia.com/). Sedangkan vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan getaran pita suara dan tanpa penyempitan dalam saluran suara di atas glottis (http://www.wikipedia.com/). Kedua macam bunyi tersebut merupakan dasar bagi manusia untuk berinteraksi dimana selanjutnya kedua macam manusia perlu memproses bunyi-bunyi bahasa tersebut apakah dapat membedakan arti atau tidak. Karena batasan dari fonetik di sini adalah meneliti bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh organ-organ ucap yang terkait dengannya tanpa mengetahui apakah bunyi-bunyi bahasa tersebut dapat membedakan makna.
Dalam proses selanjutnya obyek yang dikaji adalah bunyi yang dapat membedakan makna atau fonem. Semisal terdapat kata batu dan satu dalam bahasa Indonesia yang mempunyai tingkat kemiripan yang tinggi. Dalam kedua kata tersebut terdapat empat bunyi yaitu:
/b/, /a/, /t/, /u/
/s/, /a/, /t/, /u/
Ternyata dapat kita dapati bahwa terdapat perbedaan pada bunyi pertama yaitu antara /b/ dan /s/ maka dari kedua bunyi ini dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan fonem yang berbeda karena makna kedua kata tersebut juga sudah berbeda. Jadi bunyi /s/ dan /b/ dalam bahasa Indonesia merupakan dua fonem yang berbeda. Kata yang disebutkan diatas yaitu kata yang mempunyai tingkat kemiripan yang tinggi selanjutnya dikenal dengan minimal pair atau disebut kata-kata yang berkontras minimal (Chaer 1994). Tetapi kadang pasangan minimal ini tidak mempunyai jumlah bunyi yang persis sama. Untuk itu Kenneth L. Pike memperkenalkan dengan apa yang disebut analogous environment. Menurut Kenneth L. Pike, analogous environments adalah “phonetic and/or grammatical contexts sufficiently similar and of such a type that they couldn’t plausibly be considered as being responsible for the particular phonetic differences” (Pike: 1988).
Dari keterangan-keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa linguistik telah menangkap sesuatu yang dasar atau fundamental dari fenomena berbahasa sebagai alat interaksi manusia yaitu bunyi untuk dipelajari secara komprehensif.

3. Morfologi

Setelah para linguists (ahli-ahli linguistik) mendapatkan hasil atas satuan bunyi terkecil dan satuan bunyi yang dapat membedakan arti, linguistik perlu melangkah lebih jauh lagi dengan menganalis bahwa bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh organ ucap tersebut belum dapat disebut sebagai sebuah satuan gramatikal yang bermakna. Maka dalam morfologi selanjutnya akan dibahas sebuah satuan gramatikal terkecil bermakna yang disebut morfem. Dalam proses-proses yang terjadi di dalam morfologi, proses fonologi juga masih terkait. Bagaimana bunyi-bunyi yang telah berhasil diidentifikasi di dalam ranah fonologi dapat berkembang menjadi sebuah morfem, yang di dalamnya terdapat analisis struktur bahasa yang menggambarkan pola fonologis dari morfem; termasuk di dalamnya penambahan, pengurangan, penggantian fonem, atau perubahan tekanan yang menentukan bangun fonem (Ensiklopedi Bahasa-bahasa Dunia dan Peristilahan Dalam Bahasa 2006) seperti yang dapat kita lihat pada contoh:


Menyimak
Menggali
Mengetuk

Ketiga bentuk tersebut adalah sebuah morfem, sebab walaupun sama secara makna dan berlainan secara bentuk (meny- pada menyimak, meng- pada menggali, dan menge- pada mengetuk). Perbedaan dari ketiga bentuk tersebut dapat dijelaskan secara fonologis juga, yaitu:
· Bentuk meny – berdistribusi pada bentuk dasar fonem yang awalnya /s/
· Bentuk meng – berdistribusi pada bentuk dasar fonem yang awalnya konsonan /g/ dan /k/
· Bentuk menge – berdistribusi pada bentuk dasar yang ekasuku
(Chaer 1984)
Bentuk- bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama disebut alomorf. Dengan kata lain alomorf adalah perwujudan konkret dari sebuah fonem (Chaer 1994: 150). Kaitan fonologi terhadap pembentukan alomorf ini juga masih terdapat yaitu dengan diketahuinya beberapa satuan fonologis yang sepadan dengan beberapa fonem yang muncul dalam alomorf-alomorf dari morfem tertentu yang disebut dengan morfofonem, sebagai contoh; //N// adalah morfofonem yang direalisasikan dalam alomorf [mem], [men], [meny], [me], [meng] yang masing-masing adalah anggota dari morfem {meN}.
Morfem-morfem yang terdapat dalam setiap bahasa dapat diklasifikasikan kedalam beberapa kriteria. Antara lain seperti yang terdapat dalam Chaer (1994):
a) Morfem Bebas dan Morfem Terikat
Morfem bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam penuturan, seperti pada contoh: pergi, minum, gubug, dan jelek adalah morfem-morfem yang digolongkan ke dalam morfem bebas. Sedangkan morfem terikat adalah morfem yang tanpa digabung dulu dengan morfem lain tidak muncul di dalam penuturan. Seperti pada kata henti, dan baur serta beberapa bentuk-bentuk yang dapat dimsukkan ke dalam bentuk prakategorial seperti dalam konsep Verhaar (1978) yaitu baca, dan tulis.
b) Morfem Segmental dan Suprasegmental
Morfem segmental adalah fonem-fonem segmental, seperti morfem {dengar}, {ketuk}, dan {ber}. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental. Sedangkan morfem suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan nada, durasi, dan sebagainya.
Menilik dari keterangan-keterangan yang telah disebutkan di atas, kita telah mengetahui adanya sebuah definisi morfem. Morfem adalah sebuah definisi yang dipakai dalam lingkup linguistik. Dalam ranah kehidupan sehari-hari satuan lingual yang lebih dikenal adalah kata. Dalam Ensiklopedi Bahasa-bahasa Dunia dan Peristilahan Dalam Bahasa (2006) kata ialah Bentuk istilah yang dapat berdiri sebagai unsur kalimat dan yang terdiri atas bentuk dasar, bentuk akar , gabungan bentuk dasar atau akar , dan bentuk berimbuhan atau gabungannya. Sama seperti morfem kata juga terdiri dari fonem-fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah. Seperti pada kata buku, urutan fonemnya adalah /b/, /u/, /k/, /u/.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa hirarki linguistik yang telah dijabarkan di atas, memiliki pertautan antara satu subsistem dengan subsistem yang lain seperti halnya pertautan antara kajian fonologi dengan morfologi.

4. Sintaksis

Pertautan yang terjadi dalam hirarki linguistik dapat sekali lagi dibuktikan lewat hubungan antara ranah morfologi dan sintaksis, walaupun hubungan yang terdapat bukan bersifat hubungan langsung. Penghubung antara kajian ranah sintaksis dan morfologi adalah kata, tetapi menurut Chaer (1994:219) dalam tataran morfologi kata merupakan satuan terbesar; tetapi dalam sintaksis kata merupakan satuan terkecil yang secara hirarki menjadi komponen pembuat satuan sintaksis terbesar, yaitu frase.
Sintaksis sendiri menurut Ensiklopedi Bahasa-bahasa Dunia dan Peristilahan Dalam Bahasa (2006) adalah:
Pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata, atau dengan satuan-satuan yang lebih besar., atau antara satuan-satuan itu yang lebih besar dalam bahasa. Satuan terkecil dalam bidang ini adalah kata. Dan dalam pengertian lain bahwa sintaksis adalah subsistem bahasa yang mencakup hal tersebut (sering dianggap bagian dari gramatika; bagian lain ialah morfologi).

Sebagai satuan sintaksis kata dibagi menjadi dua yaitu kata penuh (fullword) dan yang termasuk di dalamnya adalah kata-kata yang termasuk kategori nomina, verba, ajektifa, adverbial, serta numeralia dan kata tugas (functionword) yang di dalamnya adalah kata-kata yang berkategori proposisi atau konjungsi (Chaer 1994).
Di dalam sintaksis dua hal yang harus diperhatikan adalah mengenai frase dan klausa. Frase lazim didefinisikan sebagi satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer 1994: 222). Lagi menurut Chaer (1994) unsur pembentuk frase adalah morfem (morfem terikat). Oleh karena itu keberadaan frase juga masih sangat erat kaitannya dengan produk morfologi yaitu morfem; karena unsur pembentuk frase yang paling utama adalah morfem terikat seperti pada contoh dataran rendah yang merupakan sebuah frase.
Klausa menurut Ensiklopedi Bahasa-bahasa Dunia dan Peristilahan Dalam Bahasa (2006) adalah kelompok kata yang sekurang-kurangnya mengandung subyek dan predikat. Disini dapat kita ketahui sekali lagi bahwa kata juga memegang peranan penting dalam pembentukan klausa. Dimana dalam ranah sintaksis ini, obyek yang dikaji adalah susunan kata yang benar secara gramatika dan dapat berterima.
Dalam berkomunikasi, manusia sering mengutarakan sebuah maksud yang akan disampaikan lewat kalimat. Gabungan kata-kata yang membentuk sebuah frasa atau klausa itu tadi dapat dikembangkan lebih luas lagi dalam bentuk kalimat. Kalimat menurut Ensiklopedi Bahasa-bahasa Dunia dan Peristilahan Dalam Bahasa (2006) adalah:
· Satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara actual maupun potensial terdiri dari klausa.
· Klausa bebas yang menjadi bagian kognitif percakapan; satuan proposisi yang merupakan gabungan klausa atau merupakan satu klausa yang membentuk satuan yang bebas; jawaban minimal, seruan, salam, dsb.
· Konstruksi gramatikal yang terdiri atas satu atau lebih klausa yang ditata menurut pola tertentu dan dapat berdiri sendiri sebagai satu satuan.
Dari penjelasan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa klausa adalah unsur penting dalam pembentukan kalimat. Pembentukan klausa yang benar akan berakibat pada pembentukan kalimat yang benar secara gramatika dan dapat berterima.

5. Semantik

Dalam hubungannya dengan sesama, manusia berkomunikasi untuk mencapai tujuan tertentu. Melalui cara manusia berkomunikasi dengan sesama yaitu dengan bahasa lisan (spoken language) dan bahasa tulis (written language) banyak kita jumpai perbedaan di dalamnya.
Dapat kita ketahui bahwa dalam komunikasi yang kita lakukan sehari-hari kita pasti mengkomunikasikan sebuah ujaran yang dapat diterima dan dapat dimengerti oleh mitra wicara kita dengan meminimalkan probabilitas terjadinya kesalah-pahaman karena adanya sebuah kesamaan ide dan konsep.
Jika kita mengucapkan sebuah kata, di dalamnya akan terkandung sebuah konsep akan kata tersebut.
Jadi di dalam semantik, obyek kajian yang dipelajari adalah makna, hal ini didukung oleh pengertian semantik menurut Ensiklopedi Bahasa-bahasa Dunia dan Peristilahan Dalam Bahasa (2006) adalah:
Semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani, mengandung makna to signify atau memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, semantik merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkatan tertentu. Apabila komponen bunyi umumnya menduduki tingkat pertama, tata bahasa pada tingkat kedua, komponen makna pada tingkat paling akhir. Hubungan ketiga komponen itu sesuai dengan kenyataan bahwa:
· Bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak yang mengacu pada lambang-lambang tertentu
· Lambang-lambang merupakan seperangkat sistem yang memiliki tataan dan hubungan tertentu
· Seperangkat lambang yang memiliki bentuk dan hubungan itu mengasosiasikan adanya makna tertentu (Palmer 1981:5)

Jadi dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa kata yang merupakan salah satu obyek kajian sintaksis (seperti yang ditunjukkan dalam hirarki linguistik) dapat bermakna dan berterima apabila terdapat sebuah konsep dan referen yang telah disetujui bersama (conventionally agreed).

6. Pragmatik

Bentuk komunikasi lisan yang diproduksi oleh manusia dalam kehidupan interpersonal sehari-hari terkadang tidak mematuhi kaidah sintaksis dan gramatikal yang benar. Jika kita pernah datang ke sebuah warung untuk berbelanja maka ujaran seperti “Bu, Gudang Garam dua…” sangatlah jamak dan umum ditemukan. Secara sintaksis dan geamatikal mungkin kalimat tersebut salah. Akan tetapi penjaga warung dapat merespon ujaran tersebut dengan baik. Dari kaidah semantik, apakah Gudang Garam yang dimaksud (referen) oleh pembeli tersebut adalah sebuah tempat besar untuk menyimpan garam? Tentu saja tidak, Gudang Garam yang dimaksud adalah sebuah merk rokok terkenal. Dan tentu saja penjaga toko tersebut dapat dengan mudah merespon. Dari sebuah contoh fenomena seperti ini para linguists memperkenalkan sebuah ilmu yang disebut Pragmatik. Menurut Levinson ( 1983:1) pragmatik merupakan bagian dari ilmu tanda atau semiotik. Terdapat beberapa perbedaan antara obyek kajian yang dianalisis oleh sintaksis dan semantik dengan pragmatis. Rustono (1999) mengungkapkan bahwa pada bidang sintaksis kajian dikhususkan pada relasi formal tanda, sedangkan kajian pada bidang semantik dikhususkan pada relasi antara tanda dan obyek yang diacunya. Lebih lanjut Leech (1983: 5-7) mengemukakan bahwa perbedaan kedua hal tersebut berkenaan dengan tiga hal pokok, yaitu:
Pragmatik mempelajari maksud sebuah tuturan; sedangkan semantik membahas makna (makna kata dan kalimat)
Pragmatik berusaha mencari jawaban atas pertanyaan apakah yang dimaksudkan dengan X; sedangkan semantik berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan apakah makna X
Pragmatik memperhatikan “makna” di dalam kaitannya dengan siapa berbicara kepada siapa, bagaimana, kapan, di mana, di dalam situasi apa; sedangkan semantik memberikan perhatian pada makna dengan tidak mengacu kepada siapa yang mengekspresi kalimat dan kepada fungsi komunikatif kalimat tersebut
Leech (1983: 8 -10) juga menambahkan bahwa pragmatik dan semantik itu berbeda tetapi saling melengkapi atau bersifat komplementer. Jadi dalam hubungannya dalam subsistem linguistik, pragmatik dan semantik bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Hal ini dikarenakan pragmatik muncul untuk menjawab pertanyaan yang tidak dapat dipecahkan oleh semantik.

7. Wacana

Dipandang dari sudut bahasa wacana berarti teks yang dihasilkan dalam satu peristiwa komunikasi nyata atau teks yang dihasilkan oleh konteks. Pemahaman terhadap teks sangat ditentukan oleh pemahaman kita terhadap konteks tempat teks tersebut digunakan. Misalnya, orang yang tidak biasa membaca jurnal ilmiah linguistik akan sulit memahami makna yang ada dalam artikel ilmiah meskipun ia dapat berbahasa Inggris. Untuk memahami wacana orang perlu memiliki latar belakang pengetahuan tentang topik yang dibicarakan atau konteks pembicaraan, tentang bagaimana sebuah peristiwa komunikasi disusun atau distruktur, serta bagaimana pesan-pesan yang ada dalam teks disusun agar teks dapat difahami dengan mudah. Di atas semua ini penting untuk diingat bahwa sebuah teks harus merupakan representasi atau rekaman dari konteks (Agustien, H.I.R 2001). Untuk menjadi representasi atau rekaman yang baik maka bahasa yang digunakan dalam teks harus gramatikal sesuai dengan harapan pengguna bahasa tersebut. Sebuah teks selalu memiliki tujuan komunikatif dan tujuan ini hanya dicapai kalau pencipta teks memperhatikan konteks, struktur teks, dan tata bahasa yang benar. Lebih lanjut Agustien (2001) menyebutkan bahwa untuk mampu berwacana diperlukan konteks dan konteks ini adalah pengetahuan yang dimiliki bersama oleh pihak-pihak yang berkomunikasi atau yang lazim disebut shared knowledge. Jika kita berkomunikasi dalam bahasa kita, yang kita perlukan adalah shared knowldge dan biasanya sebelum kita ‘masuk’ ke tujuan komunikasi utama. Kita juga menyadari betapa pengetahuan bahasa, kemampuan menyusun kalimat secara gramatikal tidak menjamin komunikasi yang lancar. Sebuat peristiwa komunikasi yang wajar adalah komunikasi yang memiliki tujuan tertentu, disusun dengan cara tertentu dan membentuk kesatuan yang harmonis dengan konteksnya yang direalisasikan dalam bahasa yang berterima sehingga membentuk sebuah kesatuan yang utuh. Agustien (2001) menerangkan bahwa peristiwa komunikasi yang semacam ini disebut penciptaan teks atau wacana. Ciri penting sebuah wacana adalah keutuhannya dan untuk mencapai keutuhan (coherence) itu orang menggunakan berbagai piranti pembentuk wacana. Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa analisis tentang wacana adalah sebagai pelengkap atau mata rantai dari hirarki linguistik; karena sebuah analisis wacana berisi segala bentuk subsistem linguistik yang saling berhubungan dan koheren. Karena analisis pada tataran wacana dapat mewujudkan signifience makna teks secara keseluruhan.

8. Bahasa Tulis (Written Language)

Sebelum manusia menciptakan sistem tulis-menulis, manusia berkomunikasi atau berinteraksi secara lisan. Maka tidak salah jika ada orang yang mengatakan bahwa language is primarily spoken; bahasa pada dasarnya adalah lisan. Akan tetapi, kebutuhan berkomunikasi ternyata berkembang; manusia mulai berkomunikasi untuk melakukan ‘bisnis’ dan perlu mencatat sebab untuk mengingat banyak hal menjadi tidak mudah. M.A.K. Halliday (1985b) yang juga ahli sastra Cina mengemukakan bahwa huruf Cina pada awal terbentuknya banyak yang menyerupai bendanya. Misalnya, huruf (character) yang bermakna ‘kuda’ menyerupai bentuk kuda, huruf yang bermakna ‘matahari’ juga dibuat menyerupai matahari. Mungkin saja ini dibuat demikian agar mudah diingat. Komunikasi dengan bantuan simbol-simbol berupa huruf semakin dibutuhkan karena dengan demikian manusia menjadi mampu berkomunikasi meskipun tidak berhadap-hadapan muka. Tanda-tanda yang digunakan manusia biasanya tidak digunakan oleh orang per orang melainkan disepakati oleh sekelompok orang yang menggunakan tanda-tanda yang sama. Maka sistem tanda tersebut bersifat sosial sehingga disebut juga semiotika sosial. Sekarang kita lihat bagaimana bahasa bisa digunakan dengan baik oleh manusia sedemikian rupa sehingga manusia normal tidak dapat hidup bermasyarakat tanpa bahasa.
Ketika kita berbahasa untuk berkomunikasi, kita menggunakan tanda-tanda (sign) berupa bunyi dan huruf. Keduanya tentu tidak diucapkan atau ditulis secara acak; ada aturan yang harus dipatuhi agar tanda tersebut dimengerti orang lain. Aturan tersebut adalah code yang dalam ilmu bahasa disebut tata bahasa atau grammar. Bunyi dan tulisan yang digunakan menurut aturan digunakan oleh masyarakat dalam konteks budaya yang sama. Dengan demikian, bahasa disebut juga sebagai sebuah sistem semiotika sosial (Halliday 1978). Ini adalah salah satu cara memandang bahasa, yakni, bahasa sebagai suatu sumber yang digunakan oleh masyarakat sebagai alat interaksi sosial. Implikasinya adalah bahwa orang yang hidup sendiri tidak akan dapat berbahasa; untuk dapat berbahasa diperlukan kehadiran orang lain.


9. Gambaran Umum Teori Linguistik


Pada bagian pendahuluan telah dibahas bagaimana manusia adalah mahkluk yang diberi keistimewaan oleh tuhan untuk dapat saling berkomunikasi secara sempurna baik dalam bentuk lisan maupun tertulis. Bentuk-bentuk komunikasi yang dilakukan manusia ini akhirnya menggugah para pemikir pada waktu itu untuk meneliti komponen-komponen pembentuk bahasa sebagai alat komunikasi manusia dan sejak saat itu makna linguistik mulai diperkenalkan. Ilmu linguistik sering juga disebut sebagai linguistik umum (general linguistics). Kata umum atau general ini berarti bahwa ilmu linguistik tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja tetapi mengkaji seluk-beluk bahasa pada umumnya, bahasa yang menjadi alat interaksi sosial manusia (Chaer 1994:3). Menurut Chaer (1994) ilmu linguistik telah mengalami tahap perkembangan yang menjadikan linguistik bersifat ilmiah, ketiga tahap tersebut adalah:
Tahap spekulasi
Dalam tahap ini kesimpulan diambil dengan cara spekulatif atau tanpa didukung bukti-bukti empiris.
Tahap observasi dan klasifikasi
Pada tahap ini para linguists mengelompokkan dan menggolongkan segala fakta bahasa tanpa memberi teori atau kesimpulan.
Tahap perumusan teori
Pada tahap ini terjadi adanya perumusan teori yang muncul dari berbagai permasalahan kebahasaan yang muncul.
Dari tahapan terakhir, yaitu perumusan teori, berkembanglah tipe-tipe teori dalam teori linguistik (Verhaar 1980:14), yaitu:
Tipe teori yang mengakui adanya tingkat ekspresi dan tingkat makna yang kedua-duanya dimiliki oleh tuturan bahasa (lingual utterance). Tipe ini tidak mengakui adanya tingkat situasi.
Tipe teori yang hanya mengakui tingkat ekspresi, dengan mengesampingkan tingkat makna, karena dianggap tidak dapat dijangkau oleh penelitian ilmiah.
Tipe teori yang mengakui tingkat ekspresi dan tingkat situasi, yang kedua-duanya bersifat faktor penentu atas tingkat makna.
Tipe teori yang memperhitungkan ketiga tingkat sekaligus yaitu makna, ekspresi, dan situasi.
Dari gambaran di atas maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa teori-teori yang berkembang dalam linguistik terus mengalami perubahan-perubahan dan teori-teori tersebut mempunyai perbedaan sifat analisis yang pada akhirnya akan menetukan dalam tingkatan perumusan teori, oleh karena itu menurut Verhaar (1980:11) menyatakan bahwa “Saya saat ini ingin menyarankan agar para linguis jangan merasa berkewajiban untk memihak pada salah satu pendirian”. Pernyataan tersebut sepertinya mengandung implikasi bahwa tidak ada satu teori pun yang sifatnya sempurna, dan dengan adanya berbagai tipe teori yang mengakibatkan banyaknya teori-teori yang saling bersilang pendapat, maka menjadikan pernyataan Verhaar tersebut menjadi layak untuk dicatat.
Ilmu lingusitik sendiri berkembang dengan sangat pesat sejak diperkenalkan oleh Saphir-Worf sebelum kemudian disempurnakan oleh beliau yang dianggap bapak linguistik modern, Ferdinand De Saussure. Dalam perkembangannya banyak obyek-obyek analisis baru yang bermunculan, seiring dengan makin bervariasinya tingkat kebahasaan manusia. Dapat kita ambil contoh dalam tataran fonologi, yang memiliki obyek kajian fonem, maka eksistensi fonem itu masih akan dipakai dalam tataran morfologi yang memiliki obyek kajian morfem, dimana fonem juga digunakan sebagai unsur pembentuk morfem. Begitu juga dengan morfem yang notabene merupakan obyek kajian morfologi, masih akan terpakai eksistensinya sebagai unsur pembentuk frase, klausa, atau kalimat.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa masing-masing konsep subsistem yang berada dalam hirarki linguistik tersebut memiliki hubungan yang saling bertautan dan linier antara satuan yang satu dengan yang lain.

Tidak ada komentar: