Jumat, 19 Desember 2008

ILMU DAN KEKUASAAN

ILMU DAN KEKUASAAN

Pengetahuan adalah kekuasaan. Pengetahuan adalah sebuah kepemilikan terhadap sebuah informasi, ide, realita akan sebuah kebenaran, dan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam kehidupan. Pengetahuan atau ilmu dapat berbanding lurus dengan kekuasaan. Hal ini dapat kita buktikan pada abad pertengahan. Waktu itu, ketika umat islam menguasai ilmu-ilmu atau pengetahuan-pengetahuan, umat islam berkuasa. Islam menguasai Spanyol, Konstantinopel, Nimes (Prancis), Afrika Utara, Cyprus, Sicilia (Itali), Mesir, Jerussalem, Siria, Serbia, Bosnia, Albania, dan Persia. Islam bahkan menguasai Sicilia selama hampir 3 abad dan Spanyol hingga 7 abad.

Bagaimana dengan masa sekarang? Apakah hubungan antara kekuasaan dan ilmu pengetahuan ini masih menjadi sesuatu yang bersinergi? “Knowledge is power”, kata Francis Bacon dalam Novum Organum (1620). Pengetahuan adalah kekuasaan. Bagi seorang teknokrat, kepintaran terhadap ilmu (science) dan pengetahuan (knowledge) adalah sumber kekuasaan yang bersifat strategis-politis. Teknokrat menjadikan ilmu-pengetahuan sebagai unsur politik (kebijakan) dalam upaya melakukan perubahan., karenanya teknokrat mengandalkan keahlian ilmiah. Seseorang yang memiliki ilmu akan memiliki sebuah paradigma yang berbeda. Mungkin dari sebuah contoh konkret pada kehidupan bernegara adalah kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para pemimpin-pemimpin bangsa (yang notabene adalah orang yang berilmu) seringkali berbenturan dengan jalan pikiran masyarakat. Masyarakat mempunyai kecenderungan untuk bersikap pragmatis dan simpel. Sedangkan para pemimpin-pemimpin bangsa mencoba untuk menjadi seorang yang visioner dalam memandang sebuah masalah dari frame yang dimilikinya. Michael Foucault (1980), seorang ilmuwan sosial pelopor postmodernisme, pernah mengatakan bahwa pengetahuan bukan sesuatu yang ada tanpa hubungan kekuasaan. Hubungan pengetahuan adalah hubungan kekuasaan. Hal ini yang menjadikan kekuasaan dan pengetahuan itu adalah dua buah hal yang saling bersinergi dan tidak dapat dipisahkan.

Tetapi kekuasaan juga dapat menina-bobokkan seseoang. Apa yang terjadi jika ilmu pengetahuan yang lebih digabungkan dengan kekuasaan tetapi tanpa ada kekuatan yang membatasinya? Mari kita flash back pada tahun 1940an dimana Nazi masih berkuasa di Jerman. Pada waktu itu Jerman dipimpin oleh seorang jenius yang bernama Adolf Hitler. Sifat Hitler sendiri bagai dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Di satu sisi Hitler adalah seorang yang mempunyai kecerdasan yang tinggi (hal ini dapat kita buktikan dari cara bagaimana taktiknya dalam menguasai sebagian besar Eropa pada saat Perang Dunia II) tetapi di sisi lain tanpa adanya kekuatan internal dan eksternal yang membatasinya, Hitler bagaikan mesin pembunuh yang mempunyai kekuasaan yang tak terbatas pada saat itu. Pada masa sekarang kita mengetahui adanya penguasa-penguasa Negara seperti Robert Mugabe dari Zimbabwe, dimana dengan luasnya pengetahuan yang dimilikinya, Robert Mugabe pada awal terpilihnya dia menjadi prsiden Zimbabwe, dapat mengangkat Negara Zimbabwe dari salah satu Negara termiskin di Afrika menjadi salah satu Negara dengan pendapatan kotor nasional (G.N.P.) terbesar di Afrika. Tetapi karena kurangnya kontrol diri, Robert Mugabe sering menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang terkesan kontra-masyarakat, kekerasan-kekerasan serta intimidasi kepada masyarakat untuk tetap memilihnya menjadi presiden Zimbabwe, akhirnya membawa Zimbabwe ke dalam jurang krisis ekonomi yang teramat dalam, di mana pada bulan Juli tahun ini, inflasi meningkat sampai 7634,8%, angka ini akhirnya menjadi angka inflasi tertinggi di dunia. Bahkan perhitungan tidak resmi menyebutkan kenaikan inflasi sampai pada titik 11.000%. Uang juga menjadi tidak berarti. Ketika Mugabe naik menjadi presiden pada tahun 1980, satu dollar Zimbabwe nilainya sedikit lebih tinggi dari satu dollar AS. Kini nilai tukarnya mencapai 300 ribu dollar Zimbabwe untuk satu dollar AS. Pemerintah Zimbabwe juga baru-baru ini mengeluarkan uang lembaran 200 ribu dollar Zimbabwe (nominasi uang terbesar di dunia). Contoh lain adalah Kim Jong Il dari Korea Utara, dimana Kim Jong Il adalah salah satu pemimpin Negara di dunia yang berani menentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat secara keras. Dari CV Kim Jong Il, dapat kita ketahui bahwa Kim Jong Il mempunyai gelar doktor di bidang seni dan yang tidak kalah mengagumkan adalah IQ yang dimilikinya juga termasuk ke dalam kategori jenius. Kim Jong Il juga mempunyai kebiasaan membaca yang sangat intens. Dia mempunyai jutaan literatur yang sanggup dibacanya. Hal ini menjadikan pengetahuan Kim Jong Il terasah dan luas. Tetapi sekali lagi bahwa karena lemahnya kekuatan yang mengontrol diri, maka Kim Jong Il sering menyalahgunakan kekuasaan yang dimilinya. Dengan kebijakannya yang menentang Amerika Serikat secara keras, Negara Korea Utara menjadi salah satu Negara yang diincar oleh Amerika Serikat untuk diluluh-lantakkkan. Tetapi Kim Jong Il sudah mempersiapkan negaranya dengan pengadaan persenjataan nuklir. Setiap uang Negara dihabiskan untuk pengembangan persenjataan nuklir. Sehingga yang terjadi adalah kesejahteraan masyarakat terabaikan, rakyat hidup di bawah garis kemiskinan, ditambah dengan embargo dari Negara-negara blok Amerika Serikat yang menjadikan Korea Utara menjadi salah satu Negara termiskin di dunia, tetapi dengan perlengkapan persenjataan nuklir yang sangat wah. Kedua contoh di atas merupakan sebuah contoh nyata bahwa kecerdasan alami ditambah dengan pengaruh pengetahuan yang tanpa batas tetapi tanpa adanya batasan kekuatan, merupakan sebuah kombinasi maut untuk menjadi sebuah penguasa yang sangat absolut dan dominan. Penguasa negara adidaya menggunakan kepintaran untuk menyerbu dan menjajah bangsa lain. Teroris memanfaatkan kepintaran merakit bom untuk diledakkan di tempat ramai. Teror dan kontra-teror terjadi di mana dan kapan saja. Ilmu-pengetahuan dipakai sebagai daya penghancur, bukan untuk melebur pertikaian menjadi perdamaian. Memiliki ilmu pengetahuan sama saja memiliki sebuah tanggung jawab yang besar secara moral. Kita harus memanfaatkan ilmu pengetahuan demi kebaikan. Kita juga harus mengawasi penggunaan ilmu pengetahuan secara etis dan tepat guna. Kita mempunyai sebuah misi penting untuk menerjemahkan ilmu-pengetahuan ke dalam nilai dasar (basic value) harkat dan martabat manusia. Jadi sebuah kekuatan yang mucul dari sebuah kesadaran akan pentingnya memiliki tanggung jawab moral yang bersumber dari dalam diri (internal) atau faktor dari luar (eksternal) adalah sebuah filter yang membatasi diri kita dalam bersikap dan bertindak.
Terlepas dari adanya kekuatan yang mengontrol kita dalam menerapkan ilmu pengetahuan secara tepat guna, sejatinya ilmu pengetahuan bersifat netral. Pemilik ilmu-pengetahuan merupakan penentu apakah ilmu-pengetahuan merupakan berkat, untuk memberantas penyakit atau kemiskinan misalnya, atau menjadi malapetaka ketika mesin perang diproduksi. Ini berlatar-belakang tipologi orang pintar sang pemilik dan pengguna ilmu-pengetahuan. Ilmuwan sendiri sebagai seseorang yang mempunyai kadar pengetahuan yang lebih selalu berusaha keras untuk menguji teori-teori dengan sebuah metodologi sehingga hasilnya dapat dipertanggung-jawabkan dan bersifat valid serta obyektif. Banyak penemuan-penemuan yang mendapatkan legitimasi dari masyarakat umum. Dan terkadang penemuan-penemuan tersebut mempunyai dampak yang sangat besar terhadap kehidupan manusia. Sebagai contoh adalah salah satu penemuan yang dianggap merubah tatanan kehidupan manusia adalah teori relativitas yang digagas oleh Albert Einstein. Teori yang berhubungan erat dengan atom ini merupakan salah satu penemuan terbesar pada abad 20. Dalam penggunaannya energi atom dapat membantu hajat hidup orang banyak. Tetapi jika disalah-gunakan penggunaan atom dapat menghancurkan harapan hidup (right for live dan right of life) kebanyakan orang. Sebagai contoh adalah Negara Korea Utara, dimana Negara ini secara masif mengembangkan teknologi-teknologi persenjataan balistik yang bersumber pada pengunaan atom di dalamnya. Dalam frame yang lain, tolok ukur yang nampak secara eksplisit muncul adalah maraknya praktik-praktik kapitalisme Negara-negara maju yang merong-rong perekonomian Negara-negara miskin atau berkembang. Praktik-praktik kapitalisme sendiri bersumber pada penerapan teori-teori ilmu ekonomi secara salah. Negara-negara maju (khususnya dari Negara barat) yang dari awalnya merupakan ladang kebebasan berpikir, mencoba untuk mengeksplorasi pengetahuan tentang ekonomi-nya secara berlebihan yang cenderung menekan stabilitas ekonomi Negara-negara miskin atau berkembang. Hal ini juga yang mengakibatkan ekses buruk terhadap Indonesia, yaitu krisis ekonomi multi-dimensi yang berkepanjangan. Kebijakan ekonomi Negara-negara barat yang merasa mempunyai pengetahuan dan kekuasaan yang tak terbatas menghasilkan sebuah permasalahan yang akan terus dihadapi oleh Negara-negara berkembang.
Hal seperti itulah yang dapat membahayakan stabilitas perdamaian dunia. Secara tidak langsung masalah-masalah seperti itu mengaitkan peran ilmuwan. Memang, peran ilmuwan tidak nampak secara eksplisit dalam situasi tersebut. Tetapi penemuan-penemuan merekalah yang disalah-gunakan oleh oknum-oknum kelompok atau mungkin individu yang mengakibatkan terjadinya situasi seperti ini. Besar kemungkinan hal ini terjadi karena perebutan pengaruh kekuasaan dunia. Masing-masing ingin menonjolkan diri mereka sendiri sebagai yang terhebat. Seperti yang telah kita bahas tadi dimana ilmu pengetahuan itu bersifat netral, bahkan cenderung untuk membantu manusia (karena sifat dari ilmu pengetahuan itu sendiri yang muncul karena adanya dorongan untuk memcahkan masalah yang dialami oleh manusia), maka sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak berusaha untuk mengarahkan seseorang pada sesuatu yang disebut kekuasaan, tetapi penyalahgunaan atau pelencengan aplikasi dari ilmu pengetahuan itu tadi yang mencoba mengarahkan seseorang pada kekuasaan.
Saat ini tengah muncul teori-teori sosial alternatif yang berani menantang hegemoni kapitalisme. Dua teori sosial yang saat ini banyak dikaji dan digemari oleh ilmuwan sosial di Indonesia itu adalah critical theory dan postmodernisme. Teori kritis yang dikembangkan oleh mazhab Frankfurt, Jerman, tahun 1930-an ini dipelopori oleh Hokheimer, Marcuse, dan Jurgen Habermas, sedangkan Post Modernisme muncul dilatarbelakangi oleh pemikiran-pemikiran Michael Foucault, Jean-Francois Lyotard, Jacques Derrida, dan Roland Barthes. Tujuan utama dari kedua teori ini adalah membuka ruang akademik bagi pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya untuk saling tukar konsepsi dan teori. Harapannya, dengan pembukaan ruang berpikir (think space) yang sama bagi ilmuwan-ilmuwan sosial dengan berbagai pendekatan yang berbeda dapat memajukan ilmu-ilmu sosial ke taraf kritisisme. Dimana tujuan akhir dari semua ini adalah terciptanya sebuah filter akan penyalahgunaan pengetahuan dan kekuasaan serta sebagai kontrol sosial yang berujung pada sebuah kondisi dunia yang aman, damai, dan kondusif.

Tidak ada komentar: