Kamis, 29 Juli 2010

Looking for a scholarship...

Fellas...nice to meet you again in my personal blog. Since, I'm starting to dig more about my profession, so I kinda need a personal development. I know that it's quite silly to ask a question without anyone who wants to reply it. I address the question and I answer the question. Silly..anybody help me??

Permasalahan Dalam Thesis Saya?

Salah satu pokok yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights menyebutkan bahwa terdapat persamaan persepsi mengenai hak dan kewajiban, tanpa mempertimbangkan perbedaan-perbedaan yang ada pada setiap orang (Unesco, 1948). Berdasarkan premis tersebut, setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama baik dalam diskusi mengenai permasalahan dasar seperti pendidikan, sebagaimana dalam konteks Indonesia diatur dalam UUD 1945 pasal 34, dan hal-hal yang lebih kompleks, seperti hak dan kewajiban berpolitik atau kebebasan menentukan agama dan kepercayaan. Lebih lanjut, basis politis di atas menunjukkan bahwa masyarakat memiliki sebuah “perlindungan” terhadap hak hidupnya, akan tetapi “perlindungan” terhadap penyandang cacat tetap masih diabaikan (diambil dari http://nasional.kompas.com/read/2010//Hak.Kerja.16.Juta.Orang.Cacat.Diabaikan).
Penulis mencoba untuk mengingat kembali permasalahan yang dialami oleh Balkiz Aishah Utami yang mengalami ROP – Retinopathy of Prematury, yang berakibat pada kebutaan. Dalam perkembangannya, Balkiz, mengalami permasalahan dalam memperoleh kesempatan pendidikan di sekolah umum, sedangkan Sekolah Luar Biasa yang dialamatkan untuk penyandang cacat secara ideal lebih dikhususkan kepada penyandang disabilitas ganda maupun multi disabilitas (diolah dari http://www.d-tarsidi.blogspot.com/). Dari fakta tersebut, kesempatan bagi penyandang cacat untuk mengembangkan potensi diri, baik dalam ranah pendidikan maupun pekerjaan, sangatlah terbatas dan “terkebiri”. Berdasarkan atas fakta tersebut, penelitian ini dilakukan.
Penulis, sebagai praktisi dan peneliti linguistik, memiliki sebuah misi untuk membatasi permasalahan tersebut dengan meneliti sejauh mana penyandang cacat netra dapat meningkatkan potensi dirinya melalui ranah penerjemahan. Penerjemahan, sebagai sebuah diskursus dan praksis dari ilmu linguistik, memegang peranan penting dalam kehidupan globalisasi. Lebih lanjut, penerjemahan merupakan sebuah sarana penyampai pesan dari bahasa sumber ke bahasa reseptor. Dalam perkembangannya, kata, istilah, dan ungkapan dalam bahasa yang digunakan juga turut berubah sesuai dengan kemajuan zaman (Soenhadji, 2009). Hakikat perkembangan bahasa itu sendiri dipengaruhi oleh dua asumsi dasar, yaitu bahasa dipandang sebagai sistem tanda yang menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang membentuk sistem tata bahasa dan terlepas dari pemakainya, dalam kajian linguistik asumsi ini dikenal sebagai sistem kode kognitif yang mengedepankan fungsi bahasa sebagai sistem yang homogen. Asumsi yang kedua adalah bahasa dipandang sebagai sebuah sistem yang disampaikan melalui transmisi kultural yang bedasarkan atas perubahan tingkah laku yang dinamis (Syukur, 2009).
Dalam konteks ini, proses penerjemahan menjadi sebuah hal yang kompleks bagi penyandang cacat netra. Perkembangan bahasa yang pesat mengakibatkan penyandang cacat netra mengalami kesulitan, terutama dalam memahami signifier dan signified sebuah obyek. Simbol dari teori Saussure ini muncul dalam tataran sinkronis, dan hal ini akan menimbulkan permasalahan bagi mereka yang memiliki cacat netra karena kealpaan konsep dari obyek. Oleh karena itu, peneliti berusaha untuk mengungkapkan eksistensi kognitif orang cacat netra dan kemampuan praksis mereka dalam penerjemahan.